Memandang keadaan di luar lewat jendela rumahku di lantai dua ini selalu membuat hatiku nyeri. Tak akan pernah kulupakan kejadian dua puluh tahun lalu. Tak akan pernah!
Credit: dokumentasi pribadi Hana Sugiharti
Saat itu …
“Hani, ibu mau belanja dulu di supermarket seberang rumah ya. Nanti malam, ayah pulang dari luar kota. Ibu mau masak yang enak buat makan malam.”
“Hani ikut ya?”
“Tidak usah. Ibu cuma sebentar, paling 15 menit sudah kembali. Hani kan masih pilek, nanti kena angin jadi tambah pilek. Tiduran ya.” Ibu menciumku lembut dan bergegas keluar.
Rasanya lama sekali aku menunggu ibu pulang. Aku bangkit dari tempat tidurku dan berjalan menuju ke jendela. Dari balik jendela itu aku berharap melihat ibu datang. Agak lama kemudian aku melihat ibu menyeberang jalan sambil membawa barang belanjaan di kedua tangannya. Tapi tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menabrak ibu. Aku menjerit ketakutan. Kulihat tubuh ibu terpental, barang belanjaannya berserakan di jalan itu. Mobil yang menabrak ibu terus saja melaju, meninggalkan tubuh ibu tergeletak di jalan.
Hari itu adalah hari terakhir aku bertemu ibu, dan ciuman ibu sebelum pergi ke supermarket adalah ciuman terakhir untukku. Saat ayah datang malam itu, untuk pertama kalinya aku melihat ayah menangis keras-keras. Meski akhirnya si penabrak bisa tertangkap dan diadili sesuai hukum yang berlaku, tapi kejadian mengerikan itu tak pernah hilang dari benakku.
“Hani …” sapaan lembut membuyarkan lamunanku.
“Kenapa murung?” Ini kan hari pernikahan kita, senyum dong.” Dimas memelukku dengan erat. Aku tersenyum, kubelai wajah dan leher Dimas perlahan.
“Pejamkan matamu, Dimas. Aku punya hadiah untukmu. Jangan buka matamu sampai aku bilang sudah yaaa.”
“Hadiah? Baiklah ..” Dimas tertawa sambil memejamkan matanya.
Aku mengambil sesuatu dari laci meja rias di dekatku, dan kusembunyikan di punggungku. Kuhampiri Dimas yang masih memejamkan matanya dan sedetik kemudian benda yang kupegang sudah menancap di lehernya. Aku tersenyum melihat tubuh Dimas jatuh.
Dimas, bukan salahmu mencintaiku. Yang salah adalah kau anak dari Aris Suganda, si penabrak ibuku.
word : 313
ini bikin “glek” waduuuh sadis sih.. 🙁
tdk terlalu sadis kok mbak #eh 🙂
Whuaaaaahhhhh sadis .. balas dendammm 🙂
iya, balas dendam sang anak 🙂
Kalo aku jadi Hani pasti udah aku maafin. Kan itu anaknya, bukan yang nabrak. Lagian udah nikah juga. Haninya psycho deh… 🙁
itu Hani lho, bukan aku yaa .. 🙂
endingnya ngetwist bgt mba..walau agak sadis hehe
sadis ya 🙂
iya mbak, kayanya lebih pas kalau yang dibunuh si aris suganda itu… mungkin si aku mendekati dan merayunya untuk jadi pacar gelap, atau apa…
bener mbak La, lebih cocok balas dendam ke orgnya langsung ya. Cuman Hani nggak suka om2 tua *halah 🙂
Saya suka membaca komen2 balasannya mak Lianny … asyiik jawabannya 😀
yaaa dibikin suka dong. Kan untuk balas dendam 😆 ini komen apa, malah menyarankan balas dendam hahahaha…
Anggit, jangan niru mama yaa 🙂
Yaaaah!!!
Salam
Astin
aaahhhh, akhirnya nongol juga mbak Astin 🙂
Iya…aku bukan penggila fiksi, jadi pernah ngalami ilang mood *hehee… ada beberapa prompt yang kuikuti lagi, bahasaku pun sedikit memfiksi-kan *hehe
Baca komengnya mba La. Mungkin gk ya kalo ditambahin keterangan kalo si aris suganda udah ninggal duluan sebelum balas dendam ditunaikan. hehe..
bisa sih, tapi balas dendam ke Aris langsung kayaknya memang lebih cocok 🙂
Hiks … dua kali nyesak bacanya. Waktu ibunya ketabrak dan waktu menikam DImas. Idenya keren mbak, top 🙂
makasih mbak 🙂
Waduh komen saya koq ilang yaa?
waduh maap mbak, komennya masuk spam. Udah kubebaskan ya mbak 🙂
Ndak baik balas dendam itu…. Waduhhhh
iya Jun, nggak boleh ditiru ya …
Dendamnya diwariskan ya T.T
he he… dendam warisan 🙂