Sketsa oleh Betty Sanjaya
Aku selalu melewati rumah kecil itu sejak pindah kerja seminggu lalu. Rumah yang sederhana, dengan pohon mangga yang berdiri kokoh di depannya. Ada sebuah ayunan digantung di pohon itu, ayunan dari ban bekas. Tiap sore saat pulang kerja dan melewati rumah itu, kulihat seorang anak kecil duduk di ayunan dengan kepala tertunduk dan tangan memeluk ban bekas itu.
Suatu hari, akhirnya aku memutuskan untuk menghampirinya.
“Halo, Kakak selalu melihatmu di sini sendirian. Suka main ayunan, ya?”
Anak kecil itu terkejut dan tampak ketakutan.
“Jangan takut, Kakak tidak bermaksud jahat. Nama Kakak Noni. Siapa namamu?”
Lama terdiam, akhirnya anak kecil itu bersuara juga.
“Dita.”
“Nama yang cantik. Dita suka main ayunan ini?”
“Iya.”
“Oh, mainnya kok sendirian?”
“Ayah sakit, tidak bisa menemaniku.”
Dita terlihat enggan berbicara banyak dengan orang yang baru dikenalnya. Dengan menyimpan rasa penasaran, aku pulang. Tapi sejak saat itu, aku selalu menemuinya setiap hari sepulang kerja, sampai akhirnya kami menjadi lebih akrab.
“Siapa sih yang membuat ayunan ini?”
“Ayah.”
“Oh, ayunannya unik ya. Jarang lho ada ayunan dari ban bekas seperti ini.”
Dita tersenyum. Kulihat sekilas matanya berbinar indah.
“Kak, dorong yang lebih tinggi..”
“Iya.”
“Lebih tinggi lagi, Kak.”
Aku mendorongnya lebih tinggi lagi, ikut tersenyum melihat tawa riang Dita yang dulu jarang sekali kulihat. Rambut panjangnya yang hitam berkibar tertiup angin.
“Aku ingin menggapai impianku, lebih tinggi dari ayunan ini.”
“Apa impianmu, Dita?”
Dita menatapku lama. Entah kenapa, hatiku jadi bergetar melihat bara api dalam sinar matanya.
“Kakak ingin tahu? Ayo kita menemui Ayah.”
Aku mengikuti Dita, masuk ke dalam rumahnya yang selalu terlihat sepi. Diajaknya aku masuk ke dalam sebuah kamar.
“Ayah..”
Aku terpaku, mulutku mendadak kelu. Di atas kasur berbaring sesosok tubuh dengan kedua tangan hanya sebatas siku. Wajahnya rusak, terlihat menyeramkan seperti gambaran monster yang kubaca dalam buku.
“Aku ingin jadi dokter agar Ayah punya wajah baru.”
Aku masih bergidik ngeri saat tangan Dita menunjuk sebuah foto di dinding kamar, sambil menatapku tajam. Mendadak tubuhku mulai limbung. Samar kudengar suara Dita berbisik di telingaku…
“Tak akan pernah kumaafkan Ibuku, penyebab semua ini! Lihat…wajahnya mirip dengan Kakak!”
***
Word : 342
Membaca kalimat terakhirnya, jadi merinding, Mbak 😀
Oohhh Mbak bacanya tengah malem sih, jadi merinding 🙂
Waduuuh…. ngerrrrri. Tapi penasaran. Si Kak Noni itu ibunya Dita? Halah…. 😀
Ehmm siapa ya? 😀
jadi itu ibunya ya mbak? atau siapa
bukaaann 😀
memang diapakan kok si ayah bisa seperti itu?
enaknya diapain? *malah tanya 🙂
bisa disiram air keras
Mak Lianny, idem sama komen2 sebelumnya. Merinding disko baca kalimat terakhirnya :’>
Salut buat temen2 yg bisa bikin FF begini, aku nggak bisa. Belum pernah cobain juga sih, hihih. Tapi belum apa2, udah nggak pede duluan mau coba bikin. Payah ya -___-
Ayo bikin mak Ges, coba duluuuu
Makasih ya sudah mampir 🙂
mak, tau nggak, ini ide awalkuuuuu huhuhu tapi akhirnya ceritaku berubah pas lagi nulis. tapi asli, awalnya aku kepikiran ini. dan percakapannya juga sama. ihihihi
Wah, sehati dong kita *eh tawa mak Isti kok terasa mengerikan ya 😀
lha, yang terakhir tuh, “wajahnya mirip kaka”, jangan..jangan,,,
kalau ditebak sih disiram air keras, tapi kok tangannya ikut terpotong sampai siku? wheheheh *kaburrr
si dita punya cita – cita penngen jadi dokter,,, mudah mudahan kesampaian hihihi….
ihh serem,apa dita akan benci sama noni mba?